Entri Populer

Senin, 23 Januari 2012

Sejarah Silam Onto

Sekalipun telah
terjadi berbagai
perubahan di sana-
sini, seiring
perjalanan waktu,
namun keasrian dan
kehijauan alam
masih mewarnai
Desa Onto. Di
sepanjang jalan
nampak kebun-
kebun jagung dan
hutan-hutan kecil
menghijau. Itulah
Onto satu daerah
yang kini menjadi
kelurahan dari
Kecamatan Bantaeng
Kabupaten Bantaeng.
Meski berjarak
sekitar 30 kilometer
dari kota Bantaeng,
tetapi bukan hal
yang terlalu sulit
untuk mengunjungi
daerah ini. Hal ini
dikarenakan jalanan
menuju ke tempat ini
sudah diaspal
dengan baik. Bahkan
hingga sampai di
lokasi dimana
dianggap sebagai
pusat dari Onto yaitu
Jambua.
Komunitas Onto
adalah satu
komunitas adat yang
masih menjaga
tradisi mereka
dengan baik. Setiap
tahun komunitas ini
melakukan acara
ritual tertentu,
seperti ritual panen
jagung, yang biasa
disebut sebagai
“Angganre Batara
Lolo” (makan
jagung muda).
Mereka juga
memiliki struktur
adat tersendiri yang
terdiri dari Sanro
(seorang perempuan
yang bisanya
bertugas berkaitan
dengan persoalan
spritual), Pinati
(pengatur system
adat dan acara adat
didaerah ini), Baku
Lompo (bakul besar;
yang bertugas dalam
acara adat didalam
rumah), Baku Caddi
(bakul kecil; Yang
bertugas di luar
rumah bila ada acara
adat), Jannang Balla
Tujua (Penjaga tujuh
rumah yang
merupakan simbol
adat di daerah ini).
Sejarah Yang
Terlupakan
Selain itu Komunitas
Onto ini memiliki
sejarah tersendiri
yang menjadi cikal
bakal Bantaeng.
Menurut Karaeng
Imran Masualle salah
satu generasi
penerus dari
kerajaan Bantaeng,
dulunya daerah
Bantaeng ini masih
berupa lautan. Hanya
beberapa tempat
tertentu saja yang
berupa daratan yaitu
daerah Onto dan
beberapa daerah di
sekitarnya yaitu
Sinoa, Bisampole,
Gantarang keke,
Mamapang,
Katapang dan Lawi-
Lawi. Masing-masing
daerah ini memiliki
pemimpin sendiri-
sendiri yang disebut
dengan Kare’.
Suatu ketika para
Kare yang semuanya
ada tujuh orang
tersebut,
bermufakat untuk
mengangkat satu
orang yang akan
memimpin mereka
semua.
Sebelum itu mereka
sepakat untuk
melakukan
pertapaan lebih dulu,
untuk meminta
petunjuk kepada
Dewata (Yang Maha
Kuasa) siapa kira-
kira yang tepat
menjadi pemimpin
mereka. Lokasi
pertapaan yang
dipilih adalah daerah
Onto. Ketujuh Kare
itu kemudian
bersamadi di tempat
itu. Tempat-tempat
samadi itu sekarang
disimbolkan dengan
Balla Tujua (tujuh
rumah kecil yang
beratap, berdidinding
dan bertiang bambu).
Pada saat mereka
bersemadi, turunlah
cahaya ke Kare
Bisampole (Pimpinan
daerah Bisampole)
dan terdengar
suara :”Apangaseng
antu Nuboya
Nakadinging-
dinginganna” (Apa
yang engkau cari
dalam cuaca dingin
seperti ini). Lalu Kare
Bisampole
menjelaskan maksud
kedatangannya
untuk mencari orang
yang tepat
memimpin mereka
semua, agar tidak
lagi terpisah-pisah
seperti sekarang ini.
Lalu kembali
terdengar suara:
“Ammuko
mangemako
rimamampang
ribuangayya Risalu
Cinranayya (Besok
datanglah kesatu
tempat permandian
yang terbuat dari
bamboo).
Keesokan harinya
mereka mencari
tempat yang
dimaksud di daerah
Onto. Di tempat itu
mereka menemukan
seorang laki-laki
sedang mandi.
“Inilah kemudian
yang disebut dengan
To Manurunga ri
Onto,” jelas
Karaeng Burhanuddin
salah seorang dari
generasi kerajaan
Bantaeng. Lalu
ketujuh Kare
menyampaikan
tujuannya untuk
mencari pemimpin,
sekaligus meminta
Tomanurung untuk
memimpin mereka.
Tomanurung
menyatakan
kesediaannya, tapi
dengan syarat.
“Eroja nuangka
anjari Karaeng, tapi
nakkepa anging kau
leko kayu, nakke
je’ne massolong
ikau sampara
mamanyu” (saya
mau diangkat
menjadi raja
pemimpin kalian tapi
saya ibarat angin
dan kalian adalah
ibarat daun, saya air
yang mengalir dan
kalian adalah kayu
yang hanyut),” kata
Tomanurung.
Ketujuh Kare, yang
diwakili oleh Kare
Bisampole pun
menyahut;
“Kutarimai
Pakpalanu tapi
kualleko pammajiki
tangkualleko
pakkodii, Kualleko
tambara
tangkualleko
racung.” (Saya
terima
permintaanmu tapi
kau hanya kuangkat
jadi raja untuk
mendatangkan
kebaikan dan bukan
untuk keburukan,
juga engkau
kuangkat jadi raja
untuk jadi obat dan
bukannya racun).
Maka jadilah
Tomanurung ri Onto
ini sebagai raja bagi
mereka semua. Dan
pada saat ia
memandang ke
segala penjuru maka
daerah yang tadinya
laut berubah menjadi
daratan.
Tomanurung ini
sendiri lalu
mengawini gadis
Onto yang dijuluki
Dampang Onto (Gadis
jelitanya Onto)
Setelah itu mereka
pun berangkat ke
arah yang sekarang
disebut gamacayya.
Di satu tempat
mereka bernaung di
bawah pohon lalu
bertanyalah
Tomanurung pohon
apa ini, dijawab oleh
Kare Bisampole:
Pohon Taeng sambil
memandang kearah
enam kare yang lain.
Serentak kenam
kare yang lain
menyatakan
Ba’ (tanda
membenarkan dalam
bahasa setempat).
Dari sinilah kemudian
muncul kata
Bantaeng dari dua
kata tadi yaitu Ba’
dan Taeng jelas
Karaeng Imran
Masualle.
Konon karena daerah
Onto ini menjadi
daerah sakral dan
perlindungan bagi
keturunan raja
Bnataeng bila
mendapat masaalah
yang besar, maka
bagi anak keturunan
kerajaan tidak boleh
sembarangan
memasuki daerah ini,
kecuali diserang
musuh atau
dipakaikan dulu
tanduk dari emas.
Namun kini hal itu
hanya cerita. Karena
menurut Karaeng
Burhanuddin semua
itu telah berubah
akibat kebijakan
Pemda yang telah
melakukan tata
ruang terhadap
daerah ini. Kini
Kesakralan daerah
itu hanya tinggal
kenangan.
Intervensi Negara
Sayangnya, jejak-
jejak sejarah Onto
itu telah terlupakan,
terkubur bersama
dengan kebijakan-
kebijakan PEMDA
yang berupaya
melakukan
perubahan dan
pembangunan
didaerah ini. Ada
upaya pemerintah
untuk menjadikan
daerah ini murni
sebagai tempat
rekreasi dan
parawisata semata.
Sehingga ada
tempat-tempat
tertentu yang
dibangun dan ditata,
tapi justru merusak
sistem khidupan
adat didaerah ini.
Dan itu semakin
nyata dirasakan oleh
masayarakat disana
pada tahun 1989
pada masa
pemerintahan Bupati
Mallingkai Maknun.
Dengan bantuan
dana Bandes,
dibangunlah jalan
yang membelah
daerah adat yang
terdapat balla tujua
dan memberikan
peluang untuk
mendirikan rumah
dari batu di daerah
tersebut. Padahal
menurut aturan adat
rumah yang boleh
ada di sekitar lokasi
balla tujua hanya
rumah dari kalangan
pemangku adat dan
hanya boleh terbuat
dari bambu.
Pada tahun ini
pulalah daerah yang
tadinya desa, diubah
menjadi kelurahan,
dan pajabat lurahnya
adalah orang luar
yang ditunjuk oleh
Bupati dan bukan
berasal dari
kalangan komunitas
adat. Beberapa
tahun sebelumnya,
tepatnya tanggal 22
Maret 1960, pada
saat Bupati Rivai
Bulu memerintah di
Bantaeng,
pemerintah
mengeluarkan
keputusan untuk
mengambil arajang
atau situs budaya
yang ada di tempat
itu. Keputusan ini
dikeluarkan seiring
maraknya stigma
terhadap komunitas
dan penganut agama
lokal. Struktur adat
yang berjumlah lima
orang itu, kini juga
sudah tidak terlalu
berfungsi lagi,
kecuali bila ada
perayaan adat yang
dilakukan di
komunitas ini. Tugas
mereka selama ini
sebagian besar telah
diambil oleh
pemerintah
setempat.
Intervensi dari
pemerintah dan juga
dari kalangan
organisasi agama
tertentu memang
sangat
mempengaruhi
keberadaan
komunitas ini.
Mereka bukan saja
mempengaruhi
sistem kebudayaan
mereka secara fisik
tetapi juga telah
mempengaruhi cara
berfikir mereka.
Seperti yang
diutarakan
Baharuddin anak dari
Uwa Pempeng
(mantang Pinati yang
sudah meninggal),
masyarakat di Onto
sendiri sudah
terbelah menjadi
dua. Sebagian besar
memang masih tetap
teguh menjalankan
tradisi bahkan
sangat
menginginkan untuk
mengembalikan
sistem adat dan
ajaran serta ritual
yang telah mereka
jalankan selama ini
namun tak sedikit
pula jumlahnya yang
sudah tidak
menginginkan hal itu.
Pihak yang kedua ini
menganggap bahwa
tardisi yang
dijalankan selama ini
adalah bentuk
ketertinggalan dan
kekolotan. Bahkan
dianggap bisa
menjerumuskan ke
hal yang berbau
kemusyrikan.
Sejumlah
masyarakat adat di
daerah ini
menyatakan
kekecewaannya
akan pembangunan
di Onto yang justru
merusak sistem adat
dan tradisi yang
selama ini mereka
jaga. Seperti yang
dikemukakan oleh
Pinati Suardi:
“Masyarakat dulu
di sini masih teguh
menjalankan tradisi
yang mereka yakini.
Sayangnya karena
selalu dianggap oleh
pemerintah sebagai
sikap ketertinggalan,
kita tidak bisa
berkembang.
Ditambah lagi selalu
dianggap sebagai
perbuatan musyrik,
maka sebagian dari
masayarakat sudah
tidak lagi
menjalankan tradisi
dari adatnya.”
Pinarti menunjuk
pada sejumlah lokasi
yang menjadi pusat
dari acara ritual, dan
kini sudah tidak jelas
lagi. Rumah-rumah
adat yang tadinya
hanya boleh terbuat
dari atap bambu dan
dinding gamacca
(dinding terbuat dari
bambu), serta
lampu-lampu dari
kanjori (lampu yang
terbuat dari kemiri)
kini sudah tidak ada
lagi. “Semua telah
berganti dengan
rumah-rumah batu
dan kayu yang
bagus-bagus,”
lanjut Pinati Suardi
bernada mengeluh.
Para pemangku adat
rata-rata masih
menginginkan agar
tradisi mereka terus
berjalan seperti dulu.
Seperti yang
ditegaskan oleh
Baharuddin generasi
penerus adat
didaerah ini: “
Nakke se’reji
pakpalakku, painroi
pole ada’ sampulo
ruayya” (Satu saja
permintaan saya
kemabalikan system
adat 12 yang pernah
berjalan didaerah ini)

Jumat, 06 Januari 2012

BAHASA AL-QURAN

Al-Quran yang tertulis dalam mushaf dengan gambar, bentuk dan susunan bahasanya adalah dari Allah sendiri.
contoh:
"katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa"
Apabila kita diperintah atasan: katakan ini atau itu, kita sebagai orang yang diperintah akan menyampaikan pokok perintahnya. Kita tidak akan menyampaikan "katakanlah". tidak seluruh ucapan atasan disampaikan.
Al-Quran adalah satu-satunya kitab suci dimuka bumi ini yang betul-betul suci. Ia satu-satunya kitab yang masih memakai bahasa aslinya sesuai apa yang diturunkannya, yaitu bahasa Arab.
Kalau saja ia diterjemahkan kedalam bahasa lain, tidak bisa dikatakan suci lagi.

Kamis, 05 Januari 2012

ALLAH TAHU SEBELUM KITA DILAHIRKAN

Allah SWT memgetahui dan mencatat apa-apa yang akan kita lakukan. Bukan mengetahui dan mencatat apa-apa yang harus kita lakukan. Beda antara keduanya. Apa yang akan kita lakukan adalah semata-mata pilihan kita sendiri.